Harimau dan Manusia di Bengkulu: Konflik yang Kian Mengkhawatirkan

Kejadian tragis menimpa Ibnu Octavian (22), seorang warga Desa Tunggal Jaya, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, yang meninggal dunia akibat serangan harimau pada Selasa (7/1/2025). Insiden ini menyoroti masalah serius terkait perambahan hutan besar-besaran di kawasan tersebut, yang kini telah berubah menjadi kebun sawit ilegal. Aktivitas perambahan ini, yang melibatkan berbagai pihak mulai dari masyarakat biasa hingga oknum pejabat, semakin diperparah dengan adanya regulasi yang seolah memberikan legitimasi melalui skema Perhutanan Sosial (PS) dan Undang-Undang Cipta Kerja.

Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, menjelaskan bahwa sejak tahun 2015, perambahan hutan untuk perkebunan sawit ilegal terus berlangsung tanpa ada tindakan tegas. “Pemerintah seperti menutup mata. Hutan dibuka secara terang-terangan untuk kebun sawit, dan jual beli lahan hutan ilegal marak tanpa pengawasan,” ungkapnya.

Pada tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait data aktivitas ilegal di kawasan hutan, termasuk di Bengkulu. SK ini memberikan peluang bagi para pelaku untuk mengajukan izin atas aktivitas perambahan mereka dengan syarat membayar denda dan biaya reboisasi, sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja Pasal 110 A dan 110 B. “Mekanisme ini seperti bentuk ‘pemutihan’ bagi perkebunan dan tambang ilegal. Jika syarat dipenuhi, izin usaha dapat diberikan hingga 25 tahun,” ujar Abdullah.

Di Bengkulu sendiri, sekitar 10 ribu hektare hutan telah dirambah untuk perkebunan sawit dan tambang ilegal, menurut data KLHK. Bahkan, Walhi mencurigai adanya penyalahgunaan skema Perhutanan Sosial oleh oknum tertentu, yang menggunakan kelompok masyarakat sebagai kedok untuk melindungi kepentingan pribadi mereka.

Ketua Lembaga Konservasi Harimau Sumatera, Lingkar Inisiatif, Iswadi, menambahkan bahwa konflik antara manusia dan harimau Sumatera tidak terhindarkan akibat rusaknya habitat hewan tersebut. “Harimau Sumatera memiliki wilayah jelajah hingga 500 kilometer persegi. Ketika habitatnya dihancurkan untuk kebun sawit ilegal, mereka kehilangan sumber makanan dan terpaksa masuk ke permukiman,” jelasnya.

Selain perambahan, perburuan babi hutan sebagai hama perkebunan juga memperburuk situasi. Dengan berkurangnya populasi babi, harimau kehilangan mangsa alami dan semakin mendekati wilayah manusia. Abdullah menegaskan bahwa langkah tegas dari pemerintah sangat diperlukan untuk menghentikan perambahan hutan dan melindungi satwa langka seperti harimau Sumatera dari ancaman kepunahan.

Tragedi ini menjadi peringatan penting bahwa kelestarian hutan tidak hanya penting bagi keanekaragaman hayati, tetapi juga untuk mencegah konflik antara manusia dan satwa liar.

This entry was posted in Home, Kebijakan Pemerintahan, Kriminal, Satwa Alam and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *