Jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan permintaan kepada majelis hakim agar menolak pembelaan atau pleidoi yang diajukan oleh dua hakim nonaktif dari Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul. Jaksa tetap bersikukuh pada tuntutannya agar keduanya dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara terkait dugaan penerimaan suap dalam perkara vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur.
Permintaan tersebut disampaikan oleh jaksa saat membacakan replik atau tanggapan atas pleidoi dari kedua terdakwa dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Jumat, 2 Mei 2025. Dalam replik tersebut, jaksa mendesak agar seluruh pembelaan dari Erintuah, Mangapul, serta tim kuasa hukum mereka ditolak.
“Penuntut umum memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan yang menolak seluruh nota pembelaan dari para terdakwa dan penasihat hukum mereka,” ujar jaksa saat menyampaikan replik.
Sebelumnya, jaksa telah menuntut agar Erintuah dan Mangapul dijatuhi hukuman 9 tahun penjara serta denda sebesar Rp750 juta, dengan ketentuan subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga meminta agar majelis hakim menerima seluruh isi tuntutan pidana yang tertuang dalam berkas perkara nomor Pds48/M.1.10/F.1/2012/2024 yang telah dibacakan pada persidangan tanggal 22 April 2025.
Jaksa meyakini bahwa Erintuah dan Mangapul telah melanggar ketentuan Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam perkara ini, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, didakwa menerima suap senilai Rp1 miliar dan SGD 308 ribu—setara dengan sekitar Rp3,6 miliar—untuk menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur dalam kasus kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
“Para terdakwa selaku hakim yang memeriksa dan mengadili perkara atas nama Gregorius Ronald Tannur, berdasarkan penetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 5 Maret 2024, terbukti menerima gratifikasi dalam bentuk uang tunai,” ungkap jaksa.
Kasus ini bermula dari kematian Dini Sera Afrianti yang menyeret Ronald Tannur ke meja hijau. Ibunda Ronald, Meirizka Widjaja, berupaya membebaskan putranya melalui pengacara Lisa Rahmat, yang kemudian berhubungan dengan mantan pejabat MA, Zarof Ricar, untuk mencari hakim yang bersedia mengeluarkan vonis bebas. Suap pun diberikan, dan Ronald Tannur akhirnya divonis bebas—meskipun kemudian Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa dan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada Ronald.