Ibnu Oktavianto (22), warga Desa Tunggal Jaya, Mukomuko, Bengkulu, ditemukan tewas dengan luka gigitan dan cakaran yang diduga akibat serangan harimau sumatera pada Selasa (7/1/2025). Tragedi ini terjadi di sebuah kebun kelapa sawit saat Ibnu tengah mencari rumput. Insiden ini menambah panjang daftar konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya harimau sumatera, di kawasan tersebut.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Said Jauhari, mengungkapkan bahwa pihaknya sedang memetakan lokasi kebun sawit tempat kejadian berlangsung. “Kami sedang memeriksa apakah lokasi ini termasuk kawasan hutan atau Areal Peruntukkan Lain (APL), karena banyak kebun sawit ilegal di Mukomuko berada dalam kawasan hutan,” ujarnya pada Rabu (8/1/2025).
Jika lokasi tersebut masuk ke kawasan hutan, pihak BKSDA tidak dapat mengambil tindakan langsung karena wilayah tersebut merupakan habitat alami harimau sumatera. Namun, jika berada di APL, langkah pengusiran atau pemasangan perangkap untuk harimau akan dilakukan.
Kerusakan Hutan Jadi Pemicu Konflik
Peningkatan konflik antara manusia dan harimau di Mukomuko terutama disebabkan oleh perambahan hutan besar-besaran untuk kebun sawit ilegal. Data dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Mukomuko mencatat bahwa 70 persen dari total 78.315 hektar hutan produksi di kawasan tersebut telah dirusak oleh aktivitas ilegal ini.
Menurut Ketua Yayasan Lingkar Inisiatif, Iswadi, perambahan hutan tidak hanya menghancurkan ekosistem tetapi juga mengganggu habitat harimau sumatera. “Hutan di Mukomuko sudah hancur akibat kebun sawit ilegal. Banyak pihak, termasuk oknum pejabat, terlibat dalam pembukaan hutan tanpa izin, sehingga habitat harimau terganggu dan konflik tidak terhindarkan,” jelasnya.
Dampak dan Solusi untuk Perambahan Ilegal
Kerusakan hutan akibat perambahan ilegal tidak hanya berdampak pada satwa liar, tetapi juga menimbulkan konflik yang merugikan masyarakat. Harga jual lahan hutan yang dijadikan kebun sawit ilegal di Mukomuko diperkirakan mencapai Rp 15 juta per hektar, dengan 35 persen dari total 124.000 hektar perkebunan sawit di kawasan tersebut berada di kawasan hutan tanpa izin.
Iswadi menegaskan perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap perambahan hutan. “Negara harus hadir untuk menegakkan hukum. Hutan yang menjadi rumah bagi harimau sumatera sudah rusak parah, dan ini berdampak langsung pada lingkungan serta kehidupan masyarakat,” tegasnya.
Kasus ini menjadi pengingat mendesak akan pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan mencegah tragedi serupa di masa depan.