Populasi Burung Hutan Sumatera Menurun Akibat Perdagangan Satwa Liar Ilegal

Perdagangan ilegal burung hutan asal Sumatera semakin marak sepanjang tahun 2024. Aktivitas ini membawa dampak serius terhadap populasi burung liar, yang diperkirakan mengalami penurunan signifikan dalam satu dekade terakhir.

Menurut Marison Guciano, Direktur Eksekutif Yayasan Flight Indonesia, sebagian besar burung yang diperdagangkan secara ilegal adalah jenis burung kicau. Burung-burung ini menjadi primadona bagi pecinta burung karena suara merdunya, terutama burung liar yang berasal langsung dari hutan, yang dianggap memiliki kualitas suara lebih baik dibandingkan hasil penangkaran.

Perputaran Uang Fantastis dan Permintaan Tinggi

Marison mengungkapkan bahwa perdagangan burung hutan liar menghasilkan perputaran uang yang sangat besar, bahkan mencapai triliunan rupiah per tahun. Pasar utama burung ini adalah Pulau Jawa, di mana permintaan terus meningkat.

“Permintaan terbesar masih berasal dari Jawa, sehingga banyak oknum memanfaatkan peluang ini dengan menangkap burung langsung dari hutan-hutan Sumatera,” ungkap Marison pada Minggu (1/12/2024).

Permintaan yang tinggi membuat oknum-oknum tidak segan menangkap burung liar, bahkan beberapa jenis yang termasuk dalam kategori dilindungi.

Penangkapan dan Penyelundupan Burung Dilindungi

Kasus terbaru menunjukkan keberanian para pelaku perdagangan ilegal. Sebanyak 151 ekor burung dilindungi ditemukan dalam upaya penyelundupan yang berhasil digagalkan oleh BKSDA Bengkulu-Lampung di Jalan Tol Lampung.

Jenis burung yang termasuk dalam daftar dilindungi tersebut adalah:

  • Poksai Mandarin: 5 ekor
  • Poksai Rambo: 3 ekor
  • Kerakbasi Alis Hitam: 5 ekor
  • Kepondang: 20 ekor
  • Pentet Kelabu: 118 ekor

Secara keseluruhan, sebanyak 4.354 burung liar dimuat dalam 111 keranjang buah dan 32 boks, menggunakan sebuah minibus berpelat B 1672 NOK. Penyelundupan ini berhasil dihentikan di ruas Tol Terbanggi Besar-Bakauheni (Bakter) pada 28 November 2024 malam.

Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung, Hifzon Zawahiri, menyatakan bahwa burung-burung tersebut rencananya akan dijual di pasar hewan di berbagai lokasi di Jawa.

“Perdagangan satwa liar tanpa izin tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam populasi burung di habitat aslinya,” tegas Hifzon.

Peran Penting Regulasi dalam Mengatasi Perdagangan Ilegal

Marison berharap Undang-Undang Karantina dapat memberikan efek jera kepada pelaku perdagangan ilegal satwa liar. Hal ini menjadi penting, terutama ketika UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dinilai belum mampu menjerat pelaku perdagangan burung yang tidak dilindungi.

“Undang-Undang Karantina diharapkan dapat mengisi celah hukum, meskipun ancaman hukumannya lebih rendah dibanding UU Konservasi,” jelas Marison.

Dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 21 Tahun 2019 tentang Karantina, pelaku perdagangan ilegal satwa liar dapat diancam hukuman 2 tahun penjara dan denda hingga Rp 2 miliar.

Dampak Jangka Panjang Perdagangan Ilegal

Perdagangan burung hutan liar tidak hanya merusak keseimbangan ekosistem, tetapi juga berisiko menghilangkan keanekaragaman hayati Sumatera. Populasi burung liar terus menurun, dengan beberapa spesies bahkan dilaporkan telah punah akibat perburuan masif.

Untuk melindungi satwa liar, langkah tegas dari pihak berwenang serta kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian alam menjadi hal yang mendesak.

This entry was posted in Home, Satwa Alam and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *