Gubernur Kalimantan Utara, Zainal Arifin Paliwang, menyampaikan kondisi perbatasan yang ada di wilayahnya. Ia menjelaskan tentang kurangnya infrastruktur dasar serta ketergantungan masyarakat pada negara tetangga, Malaysia, untuk kebutuhan sehari-hari.
“Sementara Indonesia sudah merdeka hampir 100 tahun, jalan-jalan di perbatasan masih seperti ini. Saya pernah merasakan perjalanan 60 km yang memakan waktu enam jam. Sementara di tempat lain, seperti Jakarta-Bogor, hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam,” kata Zainal dalam pertemuan dengan Komisi II DPR di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Menurutnya, saat ini banyak jembatan yang rusak, sehingga masyarakat harus membuat jembatan darurat dari batang kayu. Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara pun berusaha memberikan subsidi untuk angkutan orang dan barang.
“Setiap tahun kami mengalokasikan sekitar Rp 15 miliar untuk subsidi transportasi, meskipun tahun ini anggarannya kemungkinan akan berkurang akibat adanya efisiensi,” ujar Zainal.
Zainal juga mengungkapkan bahwa sebagian besar kendaraan bermotor di daerah perbatasan menggunakan pelat nomor Malaysia. Selain itu, harga bahan bangunan di wilayah tersebut juga relatif tinggi.
“Di daerah kami, hampir semua kendaraan berpelat Malaysia. Kami telah mengajukan permohonan kepada Dirjen Kementerian Keuangan, dan berharap bisa bertemu dengan Bea Cukai untuk membahas status kendaraan tersebut,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa di beberapa wilayah, akses darat masih terbatas, sehingga masyarakat terpaksa mengandalkan transportasi udara atau sungai. Meskipun begitu, Zainal merasa bersyukur karena masyarakat perbatasan masih setia kepada Indonesia.
“Meski mereka hidup di kawasan perbatasan, mereka masih setia kepada NKRI. Namun, sebagian besar kebutuhan mereka bergantung pada Malaysia. Saya merasa malu dengan keadaan ini, tapi kami masih belum mampu memperbaiki kondisi ini karena keterbatasan anggaran,” ujar Zainal dengan rasa prihatin.
Ia juga menceritakan pengalamannya yang sangat berat selama perjalanan ke wilayah perbatasan. “Saya pernah menghabiskan tiga hari dua malam makan nasi basi di tengah hutan. Saya sangat sedih, dan jika Anda melihat kondisi masyarakat kami di Kalimantan Utara, Anda mungkin akan merasa terenyuh,” tambahnya.