Peran aktivitas manusia dalam mempercepat hilangnya spesies di seluruh dunia semakin nyata. Demikian temuan utama yang disampaikan oleh organisasi konservasi World Wide Fund for Nature (WWF).
Menurut laporan BBC pada Jumat, 18 Oktober 2024, populasi satwa liar dunia, dari gajah di hutan hujan tropis hingga penyu sisik di Great Barrier Reef, menunjukkan penurunan yang signifikan.
Living Planet Report, laporan komprehensif mengenai kondisi lingkungan global, mengungkapkan bahwa jumlah populasi satwa liar di seluruh dunia telah berkurang rata-rata 73% selama lima dekade terakhir.
“Hilangnya ekosistem liar mengancam keseimbangan alam. Banyak habitat penting, seperti hutan Amazon dan terumbu karang, kini berada di titik kritis,” ujar Tanya Steele, kepala WWF Inggris.
Laporan ini berdasarkan Indeks Planet Hidup, yang memantau lebih dari 5.000 populasi burung, mamalia, amfibi, reptil, dan ikan selama lima puluh tahun terakhir.
Dalam banyak contoh, laporan ini menunjukkan dampak aktivitas manusia terhadap hilangnya satwa liar. Salah satu temuan menyebutkan bahwa lebih dari 60% lumba-lumba sungai merah muda Amazon telah punah akibat pencemaran.
Selain polusi, faktor lain yang mengancam keanekaragaman hayati adalah kegiatan pertambangan dan konflik sosial. Namun, laporan ini juga memberikan secercah harapan dengan adanya keberhasilan dalam upaya konservasi di beberapa area.
Sebagai contoh, sub-populasi gorila gunung di Pegunungan Virunga, Afrika Timur, mengalami peningkatan sekitar 3% setiap tahun pada periode 2010 hingga 2016. Meskipun demikian, WWF menegaskan bahwa upaya ini masih belum cukup di tengah laju penghancuran habitat yang terus berlanjut.
Tom Oliver, profesor ekologi dari University of Reading, menyatakan bahwa ketika data dari laporan ini digabungkan dengan informasi lain, seperti penurunan jumlah serangga, maka tampak gambaran besar yang menunjukkan ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati global.
Laporan tersebut mengidentifikasi degradasi habitat sebagai ancaman terbesar bagi satwa liar, diikuti oleh eksploitasi berlebihan, invasi spesies asing, penyakit, perubahan iklim, dan pencemaran.
Mike Barrett, kepala penasihat ilmiah WWF dan penulis utama laporan ini, menegaskan bahwa pola produksi dan konsumsi manusia yang tidak berkelanjutan berkontribusi besar terhadap hilangnya habitat alami.
WWF juga mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan dan perubahan iklim berpotensi mendorong dunia menuju titik kritis yang sulit dipulihkan, seperti keruntuhan hutan hujan Amazon, yang memainkan peran penting dalam menyerap karbon dan mengurangi dampak pemanasan global.
Seruan darurat ini muncul menjelang Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kolombia, di mana para pemimpin dunia akan membahas langkah-langkah restorasi alam.
Hampir 200 negara berkomitmen untuk menandatangani perjanjian PBB pada 2022 yang bertujuan mengatasi degradasi lingkungan, termasuk menetapkan 30% wilayah planet ini sebagai kawasan konservasi pada tahun 2030.